|
Embun pagi membasahi
dedaunan, hujan semalam
meninggalkan jejak di
|
jalan
setapak, tak biasanya
Aku bangun dengan
semangat di pagi
ini, Aku
|
bergegas
mengambil handuk dan
menceburkan diri disungai
mahakam yang
|
arusnya
sangat tenang, setenang
jiwa yang merindukan
muara. Suara perahu
|
ketinting
saling bersahut-sahutan hilir
mudik, ada yang
membawa hasil ladang
|
dan hasil buruannya.
Aku bersama anak-anak
yang lain ber gegas
naik ke ru mah
|
untuk
memakai seragam sekolah,
hari ini adalah
har i yang kami
tunggu- tunggu,
|
karena
informasi dari Ibu
Bulan guru di
sekolah kami bahwa
har i ini akan
ada
|
guru baru dari
kota yang akan
mengajar di sekolah
kami. Aku sangat
senang
|
mendengar
berita dar i Ibu Bulan, yang
ada dip ikiranku waktu itu
adalah kami bisa
|
dapat
lebih banyak pengetahuan
dar i guru baru
yang dar i ko ta
itu, kami bisa
|
bertanya
bagaimana dengan kehidupan
di kota sana,
apakah sama dengan
|
kehidupan
kami yang ser ba k ekurangan ini, bahkan
kami sering ke
sekolah tanpa
|
menggunakan
sepatu dan seragam,
buku kami pu n sudah
pada usang ditelan usia
|
d i
perpustakaan yang hampir runtuh
karena dimak an rayap.
|
Setelah
sarapan seadanya, Aku
pun lalu menuju
seko lah, jarak ru mahku
|
dengan sekolah adalah satu kilometer, sehingga aku
harus berjalan kaki lebih
awal
|
dari teman-teman
yang lain agar aku tidak
terlamb at masuk ke sekolah.
|
@@@
|
“Sekolah
kameq au rusak,
jan teq perhatian
dahin bantuan man
|
pemerintah tapi
kameq tetap semangat bekalai,
ai kameq lai meraih mimpi dahin
|
cita-cita kameq”.
|
(Sekolah kami
sudah rusak, tidak ada perhatian dan bantuan dari pemerintah tapi
|
kami tetap semangat belajar untuk meraih mimpi dan cita-cita)
|
Gedung
putih tua yang
berd iri sejak tahun
1981 dan bercat
krem yang
|
hampir mau ru bu h,
dan banyak dimak an
rayap in i adalah
ruang kelas 6A,
tempat
|
aku
menimba ilmu yang
serba kekurangan selama
enam tahu n berjalan,
atapnya
|
banyak
yang bolong sehingga
tak ayal ketika
hu jan turun kami
pun d isibukkan
|
untuk
menampung air hujan
menggunakan ember yang
telah kami siapkan
dan
|
kami
letakkan disudut ruangan.
Mungkin karena itulah
banyak guru-guru yang
|
d ik irim dar
i kota
tidak betah dan
mengundurkan dir i u ntuk
mengajar diseko lah
|
kami. Ini kali
k esekian guru dari
kota dikir im untuk
mengajar diseko lah kami,
|
pagi ini suasana
di sekolah masih
sepi, hanya beberapa
orang murid saja
yang
|
terlihat
bermain bo la dilapang an
sekolah, aku menaruh
tas ke dalam
kelas dan
|
duduk
diatas pagar pembatas
r uang kelas, yah
karena sekolah kami
terbuat dari
|
kayu dan berbentuk
rumah panggung, maka
diberi pagar pembatas,
sambil
|
sesekali
memperhatikan jalan setapak
yang menuju sekolah kami, melihat apakah
|
guru baru itu akan datang atau hanya kabar burung saja
yang kami dengar.
|
Satu per satu
murid dan para
gur u berdatangan dan
tak lama berselang
|
lo nceng
sekolah ber bu nyi, dar i
tad i aku memperhatikan tak
ada guru baru
yang
|
d ikatakan
oleh Ibu Bu lan
kemaren datang, aku
mulai kecewa, setumpuk
|
pertanyaan
yang ada d ibenakku
tentang kota, yang
telah aku persiapkan
untuk
|
guru baru kelak
hanya menjad i angan-angan saja tanpa tahu jawabannya.
|
Aku pun masuk
kelas dengan setengah
tertunduk dan tak
bersemangat,
|
anak-anak
pun berlarian masuk,
Pak Hingan mulai
menghamp iri kelas kami
|
sambil
membawa tas bututnya
yang sudah lusu h
berwarna cok lat tua,
selaras
|
dengan pakaiannya
yang bermo tif kotak-kotak.
|
“Selamat Pagi Anak-anak”
|
suaranya ketika
masuk ke dalam kelas kami.
|
“Selamat Pagi,
Pak Guru”
|
Sahut kami
|
Aku mu lai tidak
konsentrasi menerima pelajaran
Fisika dari Pak
Hingan,
|
yang ada d ipikiranku hanyalah
segudang pertanyaan tentang
kota yang akan
aku
|
tanyakan
kelak kepada guru
baru yang katanya
akan mu lai meng ajar
hari ini ke
|
seko lah kami.
|
Ditengah
aku membayangkan kehidupan
tentang kota yang
sangat jauh
|
ber beda
dengan kampung kami,
gedung-gedu ng pencakar langit,
mo bil-mo bil
|
mewah, serta rumah- rumah yang terbuat dari beton. Aku dikagetkan
dengan suara
|
Ibu Bulan.
|
“Anak-anak,
minta tolong perhatiannya sebentar,
Ibu akan
|
memperkenalkan
guru baru yang akan mengajar kalian di sekolah kita, namanya
|
bapak
Raihan dari Samarinda,
Bapak Raihan adalah
guru suka relawan dari
|
program
Indonesia Mengajar, dan
akan mengajar kalian
selama 1 tahun,
jadi
|
dimanfaatkan sebaik mungkin ilmu yang diberikan oleh
Bapak Raihan”
|
terang ibu
|
Bulan panjang lebar.
|
“Selamat
Pagi Anak-anak, Bapak
minta maaf karena
datang terlambat,
|
karena
kapal yang bapak tumpangi sempat
karam di jeram panjang,
untung ada
|
kapal yang mudik
juga dibelakang, jadi
bapak numpang dan
bisa sampai disini
|
bertemu
dengan kalian.”
|
Jelasnya.
Dengan menggunakan kemeja
ber garis-garis
|
dan celana katun
berwarna hitam, dengan
tatanan r ambut yang
klimis ala
|
dandanan
pemuda dikota dan
berkacamata, serta senyuman yang
membuat orang
|
yang
berada didekatnya senang.
|
“Selamat Pagi Pak.”
|
Teriak kami bersemangat
|
“Bapak
adalah guru sukarelawan
dari progra m Indonesia
Mengaja r
|
selama 1 tahun,
dan bapak akan
mengajar mata pelajaran
matematika dan
|
bahasa inggris selama di sekolah ini”
|
terangnya.
|
“Baik
anak-anak, perkenalan dengan
pak Raihan cukup
sekian, silahkan
|
dilanjutkan pelajaran fisikanya”
|
pamit Ibu Bulan dan Pak Raihan.
|
Kami pun melanjutkan
pelajaran fisika dengan
ru mus-ru mus yang
|
memusingkan
kepalaku, segudang pertanyaan
yang bergelayut di
pik iranku tidak
|
tahan lagi untuk aku bendung.
|
@@@
|
Malam yang ding in,
hujan tadi sore
masih menyisakan butiran- butiran air
|
d i daun jati,
go ng berdera sebanyak
tiga kali beturut-turut tandanya
semua
|
masyarakat di kampung kami disuruh untuk berkumpul d i balai pertemuan u mum,
|
selain
digunakan sebagai alat
musik, Gong mmerupakan
benda yang sakral
bagi
|
kami,
irama tabuhan gong
akan ber beda apabila
disuruh berkumpu l untuk
|
musyawar ah, Gong Kematian, I badah, dan upacara adat
lainn ya.
|
Aku mempercepat langkah mengikuti
Ayahku menu ju ke Balai Pertemuan
|
Umum untuk mengikuti
so sialisasi per usahaan kelapa
sawit yang berencana akan
|
bero perasi
di kampung kami,
aku melihat kedalam
ruangan balai yang
berbentuk
|
panjang seperti Amin
Ayaq-Rumah Adat kami,
mataku tertuju kepada
tig a orang
|
yang
berdandan rapi mengenakan kemeja kotak-kotak, yang satu
mengenakan jas
|
dan yang satunya
lagi mengenakan pakaian lapangan,
mereka mulai menjelaskan
|
panjang lebar kepada
kami mengenai keu ntungan
yang akan didapatkan
o leh
|
masyarakat
di kampungku apabila
perusahaan kelapa sawit
tersebut bero perasi,
|
mereka pu
n menjelaskan mengenai
Kebun Plasma yang
akan diber ikan kepada
|
masyarakat
dan berbag i keuntungan
20% untuk masyarakat
dan 80% untuk
|
perusahaan apabila kebun plasma ber jalan.
|
“Bapak-bapak
dan Ibu-ibu tidak
usah bekerja diladang
lagi, tinggal
|
duduk-duduk
santai saja dirumah
menikmati uang setiap
bulannya dari
|
perusahaan”
|
jelas bapak
yang memakai dasi yang berdandan rap i dan klimis.
|
“Kameq
memang kelunan kampung,
tapi kameq jan
uyau meq pikiran
|
peloq
kameq jan ngenap
beleq tanaq warisan
uku boq kameq
moh perkebunan
|
sawit, kameq
tetap sang menjaga tanaq kameq man
anak meson kameq bayaq.”
|
(kami
memang orang kampung,
tapi kami tidak
bodoh, kolot seperti
pikiran
|
kalian,
kami tidak akan
menjual tanah warisan
nenek moyang kami
untuk
|
perkebunan
kelapa sawit, kami
tetap akan menja ga
tanah kami demi
anak cucu
|
kami kelak.)
|
Suara bas Pak Hibau
memenuhi ruang an balai.
|
“peloq
atang ha iniq
sang nai merusak
dahing sang lemruk
tanaq kameq dahin
|
ma’ai janji-janji
pamoh moh kameq tua”
|
(Kalian datang
kemari hanya untuk merusak dan menghancurkan tanah
kami dan
|
hanya memberikan janji-janji palsu saja kepada kami).
|
timpal pak Kuleh
|
Sosialisasi
itu menjadi debat
kusir semata, dan
jelas masyarak at di
|
kampungku
dengan tegas menolak
investor-investo r yang masuk
untuk merebut
|
hak- hak
adat kami, kami
sekian tahun berada
disini, tempat hidup
dan mati kami
|
kelak.
|
@@@
|
Pag i yang cerah,
mentari menyusup dibalik
tegakan pohon k aret,
aku
|
d ibangunkan
oleh ayah untuk
bersiap-siap perg i keladang
bersama pak Raihan,
|
yah
setelah berd iskusi bersama
pak Raihan kemaren
siang di Sekolah,
dia akan
|
ikut aku melihat
ladang karet ayahku,
d ia sangat tertarik
dengan tantangan baru
|
yang belum pernah
sebelumnya dia lakukan, seperti meno res karet, menjala
ikan,
|
mengemud ikan perahu k etinting, memanja pohon kelapa, dan
aktivitas sehari- hari
|
kami sebagai orang
dayak.
|
Aku mulai bergegas
d an memasukkan bekal
untuk sarapan dan
makan
|
siang kami diladang
ke dalam
|
Lanjong
|
setelah
semua sudah siap,
kami pun
|
meluncur menu
ju ladang, pak
Raihan bersemangat sekali
u ntuk membantu kami
|
melakukan aktivitas di
ladang, bahkan berkali-kali sering
jatuh ke sungai
ketika
|
jala mu
lai dikembangkan dan
tersangkut d itangannya, d ia
hanya tersenyum dan
|
tertawa, kemudian melanjutkannya lagi.
|
Terik
mentari mulai mengenakan
mahkotanya, kami pu n
memutuskan
|
untuk
beristirahat, disela-sela kami
ber istirahat pak Raihan
pu n mulai bercerita,
|
semenjak
dia lahir baru
merasakan pengalaman yang
sangat menyenangkan di
|
kampung ini.
|
“Hidup di kota
sangat jauh berbeda
dengan di kampung,
saya
|
mendapatkan banyak pengalaman baru yang berharga di
kampung ini, yang tidak
|
saya dapatkan di Kota, bagaimana masyarakatnya menjaga
kelestarian hutan dan
|
kebudayaan yang ada di
kampung ini, saya sangat bangga
sekali berada dan bisa
|
diterima di kampung
ini”
|
Terang Pak Raihan.
|
“
|
Tapi di kota
kan banyak gedung-gedung mewah
pak, banyak mall
dan
|
banyak tempat untuk
bermain disana?”
|
Timpalku
|
“
|
Yah, tapi itu
menjadikan masyarakat di
kota semakin konsumtif
akan
|
kehidupan
modernisasi, yang tidak
bisa meng hargai dan
mengakui adanya
|
masyarakat
adat yang berada
di sekitar hutan
mereka hanya berfikir
untuk
|
berinvestasi
saja tanpa ha rus
memikirkan kepentingan masyarakat
adat yang
|
berada di sekitar hutan.”
|
Penjelasan
pak Raihan memberikan
suatu mo tivasi dan
cita-cita serta
|
keinginan
yang kuat bag iku
untuk bisa menimba
ilmu di kota
untuk membangun
|
kampungku
yang berada di
pedalaman kalimantan ini,
yang hanya bisa
ditembu s
|
melalui
jalur su ngai dan melewati beberapa riam-riam yang mematikan, tapi
kami
|
hidup harmo
nis disini selama
berpuluh-puluh tahun. Dengan
adanya masuk
|
investor
kelapa sawit ,
akan membuat kampungku
menjadi semakin tertindas
dan
|
menjad i buruh di tanah kelahir an sendiri.
|
@@@
|
Tak terasa setahun
berlalu begitu cepat,
pak Raihan sebentar
lagi akan
|
kembali ke kota
untuk melanjutkan pekerjaannya menjadi
tenaga sukarelawan
|
tutor
Paket di PKBM
(Pusat Kelo mpok Belajar
Masyarakat) di pesisir
Ko ta
|
Bontang
yang harus membelah
laut menggunakan ketinting
menuju pulau-pulau
|
pesisir yang
sebag ian besar penduduknya butu huru
f dan angksara, su nggu h mulai
|
pekerjaan pak Raihan, dia tidak memikirkan dir inya send iri
demi mengabdi untuk
|
ber bagi ilmu di daerah tertinggal.
|
Aku pun k ini
melanjutkan sekolah menengah
pertama d i pondok
|
pesanteran Hid
ayatullah d i samarinda,
dan ini kali
pertamaku naik pesawat
|
terbang p
erintis yang berada
jauh di perbatasan.
Pagi-pagi sekali aku
dan pak
|
Raihan
serta Ayah mudik
ke hulu sungai
mahakam menuju bandara
datah dawai
|
yang dulu d igu nakan
o leh para tentara
penjaga perbatasan, setelah
melewati dan
|
melawan
arus sungai mahakam
selama satu setengah
jam, kami pun
tiba di
|
bandara,
bandara yang sangat
mempr ihatinkan dar i segi
sarana dan prasarana,
|
serta
bandara yang satu-satunya di
Indonesia yang ber
sebelahan langsung dengan
|
lokasi Tempat Pemakaman Umum.
|
Suara
sirine mulai terdengar ,
deru pesawat terbang
perintis pun tiba,
Pak
|
Raihan dan aku berpamitan kepada ayah dan ibu, kata ayah d i samarinda nanti ada
|
tanteku yang
akan mengrus keperluan
sekolahku kelak. Setelah menumpahkan
air
|
mata
sejenak, aku ber lalu
menuju pesawat dan
mengambil posisi tempat
duduk
|
tepat
disamping jendela, aku
melihat ayah dan
ibu melambaikan tangannya
|
kepadaku seakan memberikan isyarat dan menitipkan
beribu pesan yang harus aku
|
jalankan kelak
dan aku berjanji akan
kembali untuk membangun kampungku agar
|
tidak menjad
i tertinggal, kembali
deru pesawat mu lai
kian lantang, baling-baling
|
pun mu lai berputar,
lambat laun naik
ke langit, tetesan
air mata di
pipiku masih
|
membekas dan
tak dapat aku sembunyik an.
|
“Sudah
jangan terlalu bersedih
tinggang, kamu harus janji
ketika pulang
|
kampung kelak
akan membangun kampung menja di lebih baik
lagi kedepan, ayah
|
dan ibumu pasti
akan bangga melihat
anaknya sekolah dan
sukses.”
|
Petuah Pak
|
Raihan yang
duduk disampingku.
|
Aku melihat
dikiri kanan sungai
mahakam telah banyak kekayaan
su mber
|
daya alam kami
yang telah dirampas
oleh para investor-investo r asing,
dan kami
|
hanya menjadi penonton
saja, mulai dar i tambang batu bara
yang bekas galiannya
|
menjad i
danau yang berwarna
hijau dan hitam,
perluasan kelapa sawit,
|
pembalakan
liar dan perusahaan-perusahaan kayu
yang tidak ramah
lingkungan.
|
Pemandangan
yang sangat mempr ihatinkan.
|
@@@
|
Tak terasa waktu
cepat berlalu, aku
telah lulus SMA
dan mendapatkan
|
beasiswa
untuk melanjutkan ku liah
di luar neger i
tahu n depan, aku
pun pu lang
|
kampung
menemui ayah dan
ibuku u ntuk memberitahukan
kabar bahagia ini,
aku
|
mendengar kabar
bahwa, perusahaan kelapa sawit
yang dulu p ernah sosialisasi
ke
|
kampung
kami waktu aku
masih SD semakin
gencar untuk memecah
belah
|
masyarakat kampu ng kami, mereka banyak bekerjasama
dengan o rang-or ang yang
|
sengaja
untuk diadu do mba
untuk menerima perusahaan
kelapa sawit di
|
kampungku, tapi sebag ian besar masyarakat
dikampungku meno lak. Dan aku baru
|
mengetahui
bahwa perusahaan tersebut
telah bekerjasama dengan
para pejabat-
|
pejabat
yang ada d i
pemerintahan untuk memper luas
lahan produksi mereka
di
|
daerah kampungku di Lo ng Pahangai.
|
“Murip harmonis dahin alam, demi keberlangsungan urip
lang lebeh sayuu”
|
(Hidup
harmonis dengan alam,
demi keberlangsungan masa
depan yang lebih
|
baik).
|
Seperti
Tingang –Burung Enggang-
yang menggepakkan lebar
sayapnya, seperti
|
itulah aku akan terus menggapai mimpi dan cita-citaku.
|
Long Pahangai, 27 Juli 2012
|
*Penulis Buku Antologi Cerpen “Kaltim dalam Cerpen
Indonesia” dengan
|
judul “Cahaya
dari Tepian Mahakam”
|
Biodata Penulis
|
Nama Pena :
M. Saipu l / M. Rietsky Fad hillah
|
Nama Asli :
M. Saipu l
|
Tempat/Tanggal Lahir: Samar inda, 15 Februar i 1986
|
HP :
085246193293 / 085387556700
|
Alamat Rumah :
Jl. Sutan Syahrir No. 24 RT.08 Kel.
Tanju ng Laut Indah
|
Kec. Bontang Selatan, Bontang ko depos 75322
|
Penghargaan :
|
1.
Koresponden kontributor Freelence
Majalah Eig er Adventure
News
|
Bandung
|
2. Ketua Divisi
Pro duksi Forum Lingkar
Pena Cabang Samarinda
Tahun
|
2007
|
3. Penu lis
Buku Ku mcer TTM ”in The name of
friendship ” Tahun 2007
|
4. Salah satu
penulis Cerpen didalam
buku Anto logi Kaltim
dalam Cerpen
|
Indo nesia dengan judul “Cahaya dari Tepian Mahakam” Tahu n 2011
|
5. Juar a III
Lo mba Karya Tulis Mahasiswa Universitas Mu lawarman
|
Hobi :
Membaca, menulis, wall climbing,
Adventur e, Traveling
|
E-mail :
|
ipoel.dkrbo ntang@gmail.com
|
Facebook / Twitter
:
|
m.rietsk y_ fadhillah86@yahoo.com
|
/ ipoel
taripang
|
Nyesek... Kisah ini semoga bisa dibaca oleh para pengusaha-pengusaha dan pemerintah yang sudah tidak lagi memperhatikan keaadan warga dan generasi mudanya demi mempertebal kantong - kantong pribadi mereka..... #LR.... Jangan lp berkunjung ke blogku juga om ipulll.... He he
ReplyDeleteyupzz..begitulah neng kondisi disono... oke meluncur pake busway ke blog ente..semoga tidak macet yah neng..wkwkwkwk
Delete