”Dimanakah tegaknya barisan
Dipterocarpaceae
Kerusakan Hutan Di Taman Nasional Kutai |
Kemanakah perginya burung-burung
pagi
Gersang tanah ibuku
Gundul hutan-hutanku
Tangan jahil kotori bumi
belantara
Jangan salahkan
Tuhan
Bila bencana
melanda
Saksikanlah
betapa
Malangnya disana
Tergores dan Terluka
Tumbang tiada terjaga
Wajah-wajah serakah
Telanjangi alam ini
Dengarlah
ratapan Hutan Rimba Raya
Dengarlah suara
jerit Alam terluka
Dengarlah
Bencana
Merenggut korban
jiwa
Dengarlah cicit
burung yang terluka”
Lagu ”Jeritan Hutan Rimba Raya” tersebut diatas tidak asing lagi terdengar
oleh para forester atau rimbawan/rimbawati yang mengingatkan kita kepada
fenomena alam, fenomena betapa tingginya kerusakan hutan alam yang terjadi
sekarang ini akibat tangan-tangan jahil yang tidak bertanggung jawab. Dimanakah
kita akan menjumpai barisan pohon-pohon Dipterocarpaceae endemik asli berasal
dari kalimantan di masa yang akan datang jika nantinya kita hanya bisa
menyaksikan barisan-barisan kelapa sawit yang memenuhi pulau yang terkenal
dengan ”Ulin, meranti dan bengkirai”
ini, yang sebentar lagi akan menjadi serambi depan antara pulau
Kalimantan-Malaysia, dan akan menjadi kebanggaan masyarakat Kalimantan ”Sangat naif memang, tetapi itulah
kenyataannya”. Seharusnya masyarakat Kalimantan harus bangga dong, atas
program pemerintah sawit sejuta hektar. Yah, asalkan tidak merugikan masyarakat
saja, tentunya, Semoga.
Siapakah yang akan kita salahkan saat bencana melanda di mana-mana seperti
banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, gempa bumi dan bencana alam lainnya
yang terjadi akibat wajah-wajah serakah yang melakukan illegal logging, dan
konversi lahan hutan untuk perkebunan, pemukiman masyarakat yang berdampak pada
kerusakan hutan dan hilangnya fungsi hutan sebagai fungsi lindung, fungsi
konservasi dan fungsi pemanfaatan. Ironis sekali.
Dengarlah ratapan Hutan Rimba Raya yang membawa pertanda akan datangnya
bencana, bencana yang akan memporak-porandakan segala isi bumi, dengarlah suara
jerit alam terluka yang bergejolak mengeluarkan murka gempa di berbagai daerah
akibat perbuatan manusia juga yang tanpa
henti menguras dan menjamah alam yang tak berdaya ini. Alam juga bisa
berbahasa, alam juga bisa merasa, dan alam juga bisa murka.
Hutan Indonesia merupakan salah satu hutan tropis terluas yang menjadi
paru-paru dunia, keanekaragaman hayati (Biodiversity) hutan Indonesia pun
tertinggi di dunia. Keanekaragaman hayati yang dapat menjaga kelangsungan hidup
umat manusia dalam hitungan lintas generasi, sayangnya dalam 50 tahun terakhir
ini Indonesia telah kehilangan 64 juta hektar hutan dataran rendah atau 40 %
dari luas hutan sebelumnya yang dikarenakan oleh Illegal Logging, Kebakaran
Hutan, Perkebunan, dan konversi lahan untuk kepentingan-kepentingan politik.
Sejak tahun 1996 laju kehilangan hutan Indonesia mencapai 2 juta hektar per
tahun.
Setiap tahun kita kehilangan hutan seluas lebih dari 3 kali luas wilayah
DKI Jakarta atau kita kehilangan hutan seluas 6 kali lapangan bola setiap
menitnya. Pengelolaan HPH yang tidak memperhatikan keberlanjutan hutan(Suistainable)
telah menyebabkan 17,4 juta hektar hutan alam di 3 pulau besar seperti Sumatera,
Kalimantan dan Sulawesi sejak tahun 1970.
Kebakaran hutan menjadi salah satu faktor berkurangnya hutan alam sebanyak 9,7
hektar hutan terbakar pada tahun 1997-2002, pengembangan sektor perkebunan
selama kurang lebih 30 tahun terakhir menciptakan kerusakan dan berkurangnya
hutan dataran rendah seperti program sejuta sawit di perbatasan
Kalimantan-Malaysia yang sebentar lagi akan direalisasikan oleh pemerintah yang
banyak menimbulkan konflik antara pro dan kontra, antara menyejahterakan
masyarakat di perbatasan oleh pemerintah dan menyengsarakan rakyat di
perbatasan, antara kepentingan politik dan kepentingan sosial masyarakat, implementasi
program sawit terdahulu tak pernah berhasil, kayu habis tapi kebun sawit tak
jadi. Sehingga hutan dataran rendah semakin rusak dan luas hutan menjadi berkurang.
Kasus itulah yang telah menimpa beberapa pejabat yang berwenang di Kalimantan
Timur dengan dugaan kasus Korupsi dalam sektor Kehutanan.
Sementara masyarakat perbatasan benar-benar membutuhkan pembangunan
infrastruktur yang secepatnya, hal ini dapat dipenuhi apabila ada program yang
berpihak kepada masyarakat. Selama ini belum pernah ada kebijakan yang
dikeluarkan Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur yang
mendukung pada masyarakat perbatasan. Program Sejuta Sawit di perbatasan ini
sebenarnya sangat baik, mengingat kebijakan pemerintahan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) yang menginginkan wilayah perbatasan menjadi serambi
depan negara ini. Yang namanya serambi itu bagus dan indah. Tapi, buktinya
hingga sekarang, pemerintah hanya menjadikannya slogan saja, tanpa membuktikan
secara langsung di lapangan, namun dalam implementasinya harus profesional dan
tidak hanya menguntungkan swasta. Karena itu, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur
diminta harus bisa membuktikan keseriusannya untuk membuat sejuta sawit di
perbatasan demi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Karena selama ini, lembaga apa pun yang dibentuk pemerintah untuk mengawasi
jalannya program pemerintah, hanya menjadi lip service pemerintah saja,
sehingga diragukan masyarakat. Pertanian tebas bakar, land clearing, perkebunan rakyat dan pembukaan lahan untuk
pemukiman juga menjadi andil yang besar bagi rusaknya hutan dan fungsinya.
Memang kebijakan pengelolaan hutan senantiasa dipengaruhi oleh kondisi politik
nasional dan pasar global, lemahnya penegakan hukum didalam bidang kehutanan semakin
menciptakan ketidakjelasan dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan, apalagi otonomi
daerah yang banyak melahirkan konflik
kewenangan pengelolaan hutan.
Nasib hutan Indonesia semakin mengkhawatirkan, bukan saja karena kita
kehilangan 2 juta hektar setiap tahun tetapi juga karena bencana alam yang
menyertainya. Banjir Jakarta tahun 2002 merupakan bukti hilangnya daerah
resapan air di kawasan Bogor Puncak cianjur mengakibatkan banjir besar di
Jakarta. Banjir yang memaksa 381.000 orang mengungsi, 300 bangunan sekolah rusak, 175 tempat ibadah rusak berat bahkan
ribuan korban jiwa melayang.
Roda perekonomian lumpuh hampir di seluruh penjuru kota. Bencana lain yang
tak kalah mengerikan adalah tanah longsor, seperti yang terjadi di kawasan
rekreasi pacet Mojokerto tahun 2002 lalu, tercatat 31 orang korban tewas ”mengerikan”
mengingat masih ada 32 kabupaten dan kota yang merupakan daerah rawan banjir
dan longsor di seluruh Indonesia seperti kabupaten-kabupaten yang berada di
pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi dan pulau Irian.
Bencana berikutnya adalah kebakaran hutan antara tahun 1997 sampai 2002.
Kebakaran hutan Indonesia merupakan kebakaran terhebat di dunia sebesar 11,7
juta hektar hutan terbakar, kerugian ekonomi mencapai angka yang fantastis sekali
12,8 – 21,6 Trilyun rupiah, hampir dua kali lipat APBN 2003 bidang pendidikan.
Setiap tahun jutaan manusia tepatnya 12.000.000 orang menjadi korban kabut
asap, mulai dari gangguan saluran pernafasan biasa hingga infeksi yang serius,
sebanyak 44.000 kasus infeksi pernafasan, akibat lain adalah hilangnya
keanekaragaman hayati walaupun tidak pernah tercatat secara pasti dilapangan
setelah kebakaran hutan terjadi, bisa dibayangkan berapa banyak binatang yang
ikut terbakar.
Ketika musim kemarau tiba bahaya kekeringan mengancam dimana-mana baik
untuk kebutuhan pengairan areal persawahan hingga kebutuhan air sehari-hari
rumah tangga, begitu banyak tragedi kemanusian akibat bencana lingkungan, kini
saatnya kita melakukan aksi nyata agar bencana tak lagi terulang di masa depan.
Bencana yang sering terjadi di Samarinda misalnya adalah banjir, hujan turun
sedikit saja sudah rawan untuk terkena banjir seperti daerah-daerah di sekitar
Antasari, Cendana, M.Yamin,
Sempaja, Pramuka dan masih banyak
lagi daerah-daerah yang rawan tergenang banjir, hal itu disebabkan karena hilangnya daerah
resapan air di kawasan lempake dan
beberapa kawasan-kawasan resapan air lainnya. Liat saja daerah resapan air dan
gunung-gunung yang semula tinggi menjulang dalam sekejap saja dapat disulap
menjadi perumahan yang indah dan asri yang menawarkan berjuta pesona dan
fasilitas yang lengkap dalam jangkauan kaum elite di daerah Lempake, Sempaja
dan daerah perumahan lainnya, sehingga berdampak pada daerah sekitarnya. Memang pantas kalau sebutan Samarinda Kota
Tepian dirubah fungsi menjadi Samarinda Kota Tepian banjir ”mengerikan”.
Bencana alam lainnya adalah tsunami yang terjadi di Aceh beberapa tahun
silam yang mengakibatkan ratusan ribu korban nyawa menghilang, Gempa Bumi di
Maumere, Gempa bumi di Jogya dan Jawa Tengah yang baru-baru ini terjadi yang mengakibatkan
ribuan korban, serta bencana alam lainnya seperti Tanah longsor dan Banjir di
berbagai daerah seperti Banjir dan tanah longsor di Manado, banjir bandang di
Aceh dan lain sebagainya.
Hal terakhir yang tak kalah pentingnya adalah sikap kita sendiri sebagai
konsumen produk-produk hasil hutan, sudahkah kita dengan bijak menggunakan
produk-produk hasil hutan tersebut. Dengan hilangnya hutan alam ini, maka kita
telah kehilangan keanekaragaman hayati yang begitu tinggi nilainya, hilangnya
hutan menjadi petaka kehidupan, Jika hutanku sakit, hasratku bangkit untuk
melestarikan dan mengkonservasi keanekaragaman hayati guna anak cucu kita di
masa mendatang, ”Bila pohon terakhir
habis, dan air terakhir pun habis ternyata uang tak dapat dimakan”, betul
tidak?, kini saatnya kita untuk berbuat
bersama dan melakukan aksi nyata agar bencana tidak terulang lagi di masa
depan, tak ada kata terlambat untuk mencegahnya. Mari kita bersama ”cegah
bencana lingkungan, satu rumah satu pohon” Sebagai wujud dari kepedulian kita
untuk melestarikan dan melindungi keanekaragaman hayati di masa mendatang.
Kota Tepian, 19 Januari 2007
M.Saipul
Penulis Buku Antologi Kalimantan Timur dalam Cerpen Indonesia
No comments:
Post a Comment