Rintik
hujan membasahi ranting-ranting pinus yang gersang, mentari pagi menyusup
dibalik tegakan-tegakan pohon jati, Aku menyaksikan dibalik tirai, dua ekor
belibis sedang bercinta didalam kolam dekat taman, bunga Lotus merah merekah
diatas tirta. Tapi, semua itu hanyalah semu dihadapanku.
Dua
tahun berlalu, setelah peristiwa yang sangat memilukan itu terjadi, Aku masih
saja tidak berdaya berada diatas kursi pesakitan ini, tubuhku sangat rapuh
untuk aku gerakkan, berjalan saja aku harus dibantu oleh suster jaga di Pusat
Rehabilitasi ini. Lamunanku terjaga mengingat ketika aku divonis menderita HIV
Positif oleh salah satu konselor di VCT RSUD Taman Husada Bontang.
Aku sangat terpukul ketika dr. Ary
memberikan amplop hasil test kepadaku yang menyatakan kalau aku menderita HIV
Positif, sempat terlintas waktu itu untuk mengakhiri hidup, tapi wajah teduh
dr. Ary menyadarkanku untuk tetap bertahan, dan meninggalkan segala perbuatan yang
telah aku lakoni selama ini.
“Mas, mengakhiri hidup
dengan cara yang tidak wajar adalah perbuatan yang dimurkai oleh Allah, ini
adalah cobaan hidup yang diberikan oleh Allah untuk mas, agar mas Andi kembali
kepada jalan yang benar dan menjauhi segala perbuatan buruk yang telah mas
lakukan selama ini.” Nasihatnya padaku,
namun tetap saja aku tak bergeming.
@@@
Hitam
putih telah kugauli, dunia kelam telah aku telanjangi, lampu temaram lantai
disco, Profesi sebagai Disc Jockey disalah
satu club hiburan malam di Bontang telah lama aku lakoni. Setiap malam aku
menyuguhkan alunan musik yang menghentak, menghujam dan melambungkan hasrat
kaum modernitas malam. Malam itu, menjadi malam yang sangat menampar
ketermanguanku, ketika aku membuka mata, aku mendapati diriku dalam keadaan
tanpa sehelai benang pun yang melekat dalam tubuhku. Aku mencoba mengingat
kejadian semalam, tapi, kepala ini terasa berat untuk kembali mengingat dan
merunut kejadian yang sangat memalukan ini, dalam keadaan tidak sadar tubuhku
dimanfaatkan oleh para ekspatriat yang menikmati setiap lekuk tubuhku
bergantian. Aku sempat melawan dan berontak, tapi zat kimia yang menjalari
tubuhku ini lebih kuat melawan dan memberontak disela-sela nadi dan mematikan
sendi-sendiku.
Aku
mencoba bangun dari tempat tidur dengan sisa-sisa tenaga, aku mengguyur badanku
di kamar mandi, tubuhku serasa kaku dalam ratap aku mengumpat, mencaci dan
memaki kepada orang-orang yang telah menghancurkan hidupku, apa yang aku jaga
selama ini, hancur begitu saja dalam waktu sekejap.
Malam
itu aku terperangkap dalam orang-orang yang selalu menjadi budak nafsu. Seperti
biasa ketika malam mulai beranjak memasuki sepertiga malam, aku sibuk bermain
dengan piringan hitam musik, mengantarkan wajah-wajah yang haus akan dunia
malam yang menyuguhkan kenikmatan dan melambungkan angan para penikmatnya.
@@@
Malam
berkabut, diselimuti kegelapan malam, aku mengemudikan motor ditengah malam yang
mulai beranjak menaiki tahtanya. Jalan
raya pun terlihat lenggang, tidak satu pun kendaraan yang hilir mudik, tepat
pukul duabelas malam, aku tiba di tempat aku menghabiskan sisa-sisa malam
bersama para penikmat geliat malam. Belum sempat aku memarkir kendaraan, aku
lalu dihampiri oleh seorang perempuan berdandan super menor memakai rok mini,
dengan lintingan rokok di tangan kirinya, Mia begitu Ia dipanggil, Ia adalah
salah satu pelanggan setia di club tempat aku bekerja, hampir setiap malam Ia
tidak melewatkannya.
Aku pun masuk ke dalam club dan mulai memainkan lagu-lagu
hasil aransemenku sendiri di rumah tadi, lampu disco pun mulai berputar, irama
pun mulai menghentak-hentak, menghujam jantung para tamu-tamu yang bergoyang
dan berdansa di lantai disco.
Malam itu begitu indah di mata para tamu-tamu yang hadir
di club hiburan malam itu, selepas melambungkan hasrat para penikmat pesona
malam, Aku pun beranjak dari altar Disc
Jockey yang telah aku persembahkan pada ratu malam yang dahaga akan suguhan
musik yang mengalun mengiri rembulan dibalik peraduannya.
@@@
Selepas mengantarkan para penikmat malam, aku pun mulai
beranjak untuk kembali pulang melepas penat. Dari dalam club aku mendengar
suara lirih memanggil namaku, akupun menoleh, dan tak dinyana suara tersebut
berasal dari wanita paruh baya yang menggenakan blus warna biru muda sepadan
dengan dandannya yg mengenakan eye shadow berwarna biru.
Wanita itu mengajak aku berkenalan dan mengajak aku untuk
mengikutinya menuju suatu rumah mewah di area perumahan perusahaan, entah setan
mana yang merasukiku waktu itu, aku manut saja dengan ajakan wanita itu, yang
baru aku tahu Ia bernama Sandra.
”Mas
Andi tolong antarin saya pulang yah? Dirumah ada party kami membutuhkan DJ agar
partynya lebih rame” tawarnya
dengan bau alkohol menyengat di bibir tipisnya.
Tanpa pikir panjangpun aku menerima tawaran sandra, aku
melaju dijalan yang senggang, tak ada kendaraan yang lalu lalang, Dia pun mulai
bercerita mengenai hidupnya yang ditinggal oleh suaminya keluar negeri karena
urusan kantor, kami pun sampai di halaman rumahnya, setelah memarkir motor di
dalam garasi akupun masuk ke dalam rumah, ternyata di rumah mewah itu telah
berkumpul lima orang laki-laki muda dan dua orang perempuan yang memakai
pakaian super mini, Aku pun berkenalan dengan mereka.
Jam dipergelangan tanganku menunjukkan pukul dua
dinihari, aku mulai memainkan musik sesuai dengan permintaan sandra, mereka pun
asik bergoyang di ruang tengah yang telah disulap menjadi lantai disco, bau alkohol dan keringat pun bercampur aduk menjadi satu
di ruangan, aku terus asik memainkan piringan hitamku, tak berapa lama sandra
menghampiriku dengan membawa segelas vodka, yah demi profesionalisme pekerjaan
yang aku lakukan yang harus menuntut
untuk memuaskan pelanggan, aku pun menunguk minuman itu, lambat laun musik yang
aku putar semakin tak bisa aku kendalikan, pandanganku berputar seiring
berputarnya piringan hitam yang aku mainkan, dan akhirnya aku tak kuasa menahan
berat beban di kepalaku ini, aku pun terjatuh, dalam samar aku melihat banyak
orang yang mengerumuniku, dan aku merasakan badanku diangkat menuju salah satu
kamar yang ada di rumah itu dan meletakkanku diatas kasur empuk, masih dalam
samar, selepas para lelaki yang mengangkatku berlalu, aku melihat 3 wanita yang
mengelilingiku dan merasakan helai demi helai pakaian yang aku kenakan dilecuti
satu persatu, masih setengah sadar aku mendengar mereka berkata kepada yang
lainnya.
“obatnya bereaksi
mia” sahut sandra dalam samar
“sapa dulu
donk mia, itu obatnnya tokcer sandra”balas
wanita yang berada diatas kepalaku dan masih memengang gelas minuman dan
menghisap rokok.
Aku mulai memberontak tapi tubuh ini tak mampu melawan
zat-zat kimia apa yang telah diberikannya kepadaku hingga aku tak mampu
bergerak, mungkinkah mereka mencampurnya tadi didalam minuman yang aku minum,
setelah itu aku tidak ingat apa-apa lagi, dan ketika aku bangun, kudapati
diriku tak berdaya dan tidak mengenakan apa-apa didalam kamar tidur disalah
satu ruang di rumah itu.
@@@
Rintik hujan pun masih terus saja membasahi dedaunan
disekitar taman di Rumah Sakit ini. Lamunanku tersentak ketika teriakan seorang
wanita berparas ayu mengejutkanku.
“dooorrrr.....”
“ayoo, lagi
ngelamunin apa?” teriaknya
“aahh, nggak
apa-apa” sahutku
“ obatnya sudah
diminum mas” katanya mengingatkanku
“belum mba,
baru mau diminum” jawabku, sambil
melirik jam dinding diruangan, yang menunjukkan waktu pukul 17.00 wita dan
memang sudah masuk waktunya untuk meminum obat ARV (Anti Retroviral Virus),
setelah aku divonis menderita HIV
Positif aku pun kemudian mengikuti saran mba Made salah satu aktivis yang
peduli dengan penderita HIV/AIDS di Kota Bontang, yang selalu rajin untuk
mengingatkanku untuk meminum obat ARV, kalau tidak sempat menjengukku, dia
pasti meneleponku untuk memastikan aku telah meminum obat ARV.
“ini obatnya
diminum dulu” balasnya sambil
memberikanku segelas air putih dan beberapa obat berbentuk pil dan kapsul.
“terima kasih
mba.” timpalku
“kalau
waktunya untuk minum obat, jangan ditunda-tunda mas.” Sahutnya mengingatkanku sambil membersihkan meja
disamping tempat tidurku.
“ya sudah,
saya pamit dulu yah mas mau pulang”
sambil membenarkan letak selimutku yang serba putih layaknya mummy.
Semenjak aku divonis menderita HIV/AIDS hanya dia yang
selalu ada ketika aku membutuhkan sesuatu, sementara teman-temanku yang lain
ketika mengetahui aku menderita HIV Positif satu persatu menjauh dan tak pernah
menjengukkku, berbeda ketika dulu aku masih sehat, mereka selalu datang
kepadaku untuk mengajakku hura-hura, dan kini mereka beranggapan bahwa aku
adalah sampah masyarakat di mata mereka, tapi dr. Ary dan mba made serta beberapa
teman-teman LSM yang peduli AIDS selalu memberikanku semangat dan memotivasi agar
terus bisa menjalani sisa hidup.
Pernah suatu ketika aku merasa kesepian dan bosan berada
di Pusat Rehabilitasi ini, aku mencoba untuk mengakhiri hidupku dengan menusuk-nusuk
nadiku menggunakan jarum infus yang terpasang dilenganku, untung saja hari itu
mba Made dan dr. Ary datang bersama wanita paruh baya yang selama sembilan
bulan aku berada didalam rahimnya dan mencegahku untuk mengakhiri hidup. Dia
pun memelukku dan menyemangatiku sambil meneteskan air mata untuk tetap bisa
menjalani hidup, rangkulannya yang hangat membuat aku tersadar, orang yang aku
cintai selama ini masih tetap bisa menerimaku meski aku dalam kondisi yang
terpuruk sekarang ini.
“Sadar Nak, ini
Ibu, apapun yang terjadi Ibu masih tetap sayang dan mencintaimu nak” sambil memengang pipiku dengan kedua tanganya yang
lembut dan mengecup keningku sambil terisak dan menangis.
“Kamu harus
janji sama Ibu, kamu harus bisa membahagiakan Ibu, jangan mengakhiri hidup
dengan cara seperti ini, ini sangat dimurkai oleh Allah.” Nasihatnya yang menyadarkanku bahwa apa yang aku lakukan
tadi salah mengakhiri hidup dengan cara bunuh diri adalah sia-sia.
Suasana ketika itu hening dan semua yang ada di ruangan
itu larut dengan lautan air mata di kelopak mata dan bermuara disudut bibir.
Dr. Ary dan Mba Made mendekatiku dan merangkulku layaknya reuni keluarga yang
lama dipisahkan oleh jarak dan waktu.
@@@
Dua tahun berselang aku menjalani terapi di Pusat
Rehabilitasi, setelah aku divonis oleh dokter menderita HIV Positif dan umurku
tidak akan lama lagi, tapi sang sutradara film kehidupan berkendak lain dan kini
aku telah memulai episode baru menata dan menjalani kehidupan yang baru dengan
status yang aku sandang, mereka sering memanggilku ODHA (Orang Dengan HIV
AIDS), meskipun aku sendiri risih mendengarnya, karena aku punya nama dan
namaku bukan ODHA, tubuhku yang dulu ringkih dan kaku layaknya mayat hidup
lambat laun bisa kembali beraktifitas dan aku kini bergabung ke dalam Komisi
Penanggulangan AIDS, organisasi yang peduli dengan HIV/AIDS, dan sering
diundang untuk menjadi narasumber serta dilibatkan menjadi konselor untuk
melakukan pendampingan sesama ODHA.
Aku menjadi motivator bagi mereka agar bisa menjalani
hidup dan tidak berputus asa, inspirasi dan motivator alamiku mengapa aku bisa
bertahan sampai sekarang ini menjalani sisa hidup adalah Ibu, yang selalu
memberikanku kasih sayang dengan tulus dan ikhlas merawatku ketika aku divonis
menderita HIV Positif, Dia tidak peduli dengan tetangga dilingkungan sekitar
rumah yang mencemooh, mencaci makinya memiliki anak yang terkena HIV Positif.
Pernah suatu ketika di sore hari lirih aku mendengar
suara ribut-ribut didepan rumah.
“Usir saja
Andy dari kampung ini, dia sudah membuat aib di kampung ini” teriak salah satu tetangga yang tidak suka dengan
kehadiranku kembali dirumah. Entah mereka dapat kabar darimana aku menderita
HIV Positif.
“Iya, usir
saja Dia, nanti anak-anak kami bisa tertular HIV gara-gara dia” sahut yang lain.
Entah setan atau malaikat mana yang merasuki Ibuku pada
waktu itu, Aku melihatnya mengambil sebuah mandau
peninggalan almarhum Ayahku dan
melemparkannya ketengah-tengah kerumunan tetangga yang telah berkumpul di depan
rumahku.
“Ini mandau...
silahkan ambil, bunuh saja anak saya kalau kalian menganggapnya hina dan aib
dimata kalian, bagi siapa saja yang ada disini yang menganggap dirinya masih
suci tidak pernah melakukan kesalahan dan tidak pernah berdosa selama hidupnya,
silahkan ambil mandaunya, bunuh saja anak saya, saya ikhlas. Teriak ibuku sambil menyodorkan mandau mendatangi satu per satu ke orang-orang yang berkerumun.
Suasana pun mendadak menjadi hening tak ada suara yang
terlontar dari orang-orang yang berkerumun didepan rumah, untung saja hari itu
dr. Ary dan mba Made datang menjengukku, kaget serta takjub melihat apa yang
telah dilakukan oleh Ibuku lalu merangkulnya masuk ke dalam rumah. Satu per
satu orang yang berkerumun itu pun pulang dengan sendirinya, setelah diberi
pemahaman mengenai HIV/AIDS oleh dr. Ary.
Aku pun memeluk erat tubuh Ibu yang tak terasa dua kali
kecil mengalir disela-sela kelopak matanya serta mengecup dahiku. Saat itulah
aku sadar bahwa masih banyak orang-orang
yang peduli kepada kita sesama ODHA, meski tak banyak orang yang mencemooh,
cacian, makian serta umpatan sering sekali menghampiri di telinga kami, ibarat
kami adalah musuh mereka yang harus dijauhi, perlakuan diskriminasi yang sering
kami terima ditempat-tempat pelayanan publik, tapi kami berusaha untuk
berpikiran positif dan tidak sakit hati atas cacian dan makian mereka yang
tidak mengerti apa sebenarnya yang kami alami dan rasakan, mereka menganggap
kami adalah sampah masyarakat dan aib bagi mereka. Tapi aku percaya melalui
pendekatan dan pemahaman yang mendalam mengenai penyakit ini kepada mereka lambat
laun akan sadar bahwa yang mesti harus dijauhi adalah penyakitnya bukan
orangnya.
Denpasar, 17 Mei 2012
*Salah Satu Penulis Cerpen
dalam Buku “Antologi Kalimantan Timur dalam Cerpen Indonesia” ed. Korie Layun
Rampan dengan judul “Cahaya dari Tepian
Mahakam”
terharu mendengarnya, semoga mas andy diberikan ketabahan menghadapi hidup ini, tetap semngat ya
ReplyDelete