Tahun ini menjadi
tonggak sejarah baru peradaban dan perubahan bagi Propinsi Kalimantan Timur.
Pada tahun ini, tepatnya bulan Mei nanti beribu rakyat dari berbagai daerah di
Kalimantan Timur mengadu nasib mereka sendiri untuk lima tahun ke depan melalui Pemilihan
Gubernur dan Wakil Gubernur Kalimantan Timur. Masyarakat Kalimantan Timur
kembali akan disuguhkan dengan janji-janji yang akan disampaikan calon-calon
pemimpin dan wakilnya, yang bertarung untuk memperebutkan kursi Kaltim 1 dan Kaltim
2.
Entah kapan janji-janji
itu akan mulai santer terdengar begitu lantang dan nyaring di telinga
masyarakat. Janji untuk menaikkan dan mensejahterahkan PNS (Pegawai Negeri
Sipil), janji untuk memberikan rasa aman dan kesejahteraan. Janji untuk
memberantas kasus Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), penyakit yang mengakar
dan menular di Indonesia
selain kasus Flu Burung, AIDS, Narkoba, yang dapat mematikan roda perekonomian
negara yang paling kronis. Tak heran jika nantinya janji-janji tersebut menjadi
penghibur diantara lilitan kemiskinan dan teriakan rakyat yang kelaparan,
diantara membuncitnya perut anak-anak yang kekurangan gizi, apa bedanya dengan
perut-perut buncit sang koruptor yang memakan uang rakyat? Diantara hilangnya
rasa aman rakyat, diantara hilangnya kebebasan mahasiswa yang di kebiri dan
keamanan menjalankan aktivitas ibadah, diantara teror-teror, diantara
kecaman-kecaman yang mengatasnamakan masyarakat, diantara keadilan yang sudah
sekian lama tercabut, diantara harapan kesejahteraan yang entah sampai kapan
akan terwujud.
Karena itu, tidak ayal
sejumlah dukungan sebagian golongan untuk para calon pemimpin dan wakilnya yang
akan mengumbar janji-janji itu pun nantinya akan mulai merebak. Sebagai contoh
kecil saja, polling pemilihan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur di berbagai
media massa
yang banyak memperoleh animo dari berbagai lapisan masyarakat. Ekspresinya pun
berbeda-beda. Hal ini telah dilihat dan dibuktikan dari pemilihan-pemilihan
kepala daerah sebelumnya di berbagai daerah. Dari fatwa yang menyudutkan calon
pemimpin yang satu karena mendukung calon pemimpin yang lain, hingga
sumpah-sumpah pun dilakukan di bawah kitab-kitab suci sebagai bukti setia tetap
mendukung salah satu calon pemimpin.
Ini menunjukkan,
kemerdekaan negeri kita ini yang sudah sekian tahun lamanya belum mampu
membangun kedewasaan seluruh lapisan anak negeri ini. Terbukti, semua hal masih
disikapi dengan sikap penuh emosional dan menempatkan kejernihan berfikir di
tempat yang sulit ditemukan.
Namun, demikianlah
budaya negeri kita. Setiap kepentingan, termasuk keinginan untuk menjadi
pemimpin, harus diupayakan terwujud. Tidak peduli caranya seperti dan
seemosional apa. Sekalipun harus melanggar syariat dan “menjual harga diri”.
Sahabat atau kawan yang sekian bulan belakang didukung untuk menduduki satu
jabatan penting tertentu pun, bila perlu dikorbankan untuk kepentingan itu.
Bahkan, bila perlu nyawa rakyat dipertaruhkan juga.
Karena semua itu,
jadilah kursi Pemimpin menjadi kursi yang paling mahal di negeri ini. Bagaimana
tidak, untuk mendudukinya saja, seorang calon pemimpin perlu “menjual harga
diri”, mengorbankan sahabat, dan bahkan mengorbankan nyawa rakyat yang
seharusnya mendapatkan pelayanan dari seorang pemimpin.
Padahal, jika seorang
pemimpin mau berpihak pada nurani, tentu tidak harus seperti itu kejadiannya.
Bagaimanapun kursi hanyalah kursi. Benda biasa yang paling banter terbuat dari
emas, bisa dinilai dengan uang, bisa rusak, dan tidak lebih tinggi dari harga
nyawa manusia.
Walaupun setiap malam
melakukan tirakat melafazkan ayat kursi untuk menduduki kursi kepemimpinan,
ketika mendudukinya dan mendapatkan keinginannya lupa akan ayat-Nya, ironis
sekali, dan yang tinggal hanyalah harapan-harapan yang tidak mungkin terwujud
dan tercapai.
Karena itu, sejatinya, kursi
diposisikan tetap sebagai kursi. Tidak lain. Sesungguhnya untuk duduk diatas
kursi kepemimpinan (Kaltim 1 dan Kaltim 2), tidak perlu ada janji-janji palsu,
tidak perlu ada fatwa yang menyudutkan, tidak perlu sumpah-sumpah di bawah
kitab-kitab suci, tidak perlu ada sahabat yang harus dikorbankan, tidak perlu
ada mahasiswa yang dikebiri ketika menyerukan kedamaian dan keadilan, tidak
perlu ada teror sana-sini, tidak perlu ada pembakaran dimana-mana, apalagi
harus menghilangkan sejumlah nyawa manusia.
Masih adakah pemimpin
yang seperti itu? Masih adakah pemimpin yang mementingkan hati nurani dari pada
kursi? Jawabnya ada pada diri pemimpin itu masing-masing apakah dia mau
mempertaruhkan hati nuraninya untuk memperoleh kursi kepemimpinan atau
mempertaruhkan harga dirinya demi kursi kepemimpinan tersebut.
M. Saipul
Tulisan ini pernah dimuat di Tribun Kaltim tahun 2008
ya semoga kita yang selalu menghujat pemimpin.. tidak sama dengan mereka.. kalaupun kita sama... berarti kita tidak sardar diri..
ReplyDeleteitu bukan menghujat saudara, jangan jadi pemimpin kalau tidak mw di kritik. memang kenyataannya begitu kan..giliran mw pemilihan saja turun ke masyarakat, janji ini-janji itu giliran sudah dapat kursi lupa sama janjinya..
ReplyDelete