Malam mulai beranjak larut, suara binatang malam
perlahan mulai kiut, tabuhan irama musik disco kian malam, kian mengalun keras,
menghentak-hentak di dasar lantai disco, lampu-lampu temaram Ibukota menghiasi
pinggiran-pinggiran kota Tepian.
Keheningan malam, menggugah hasrat dan menggelitik di
dalam kalbu, membawa imajinasi kian jauh menerawang menguncup dewi-dewi malam,
jalan-jalan Ibukota terlihat lenggang, hanya satu-dua saja kendaraan yang
berlalu-lalang. Udara malam yang dingin tak menghalangiku untuk sejenak
menikmati kehidupan malam para kaum ekspatriat yang melepaskan penat di warung
remang-remang, café, pub, dan lantai disco yang begitu kelam menampar
ketermanguanku, adalah rutinitas yang dilakoni para penikmat kehidupan malam
menjelang malam kian meninggalkan peraduannya .
Jam dipergelangan tanganku menunjukkan pukul 02.00 dini
hari, udara malam semakin dingin menusuk sendi-sendi raga yang letih. Aku pun
semakin melaju di balik kemudi setir mobil yang mengantarku ke suatu tempat di
mana aku biasa menghabiskan malam menikmati pemandangan yang indah dibalik
lampu-lampu temaram di pinggiran sungai Mahakam di jalan Gajah Mada yang
menyajikan beraneka “Jajanan” serta suguhan-suguhan yang tak pernah sepi dikunjungi
oleh para penikmat modernitas kehidupan malam yang menguncup dewa-dewi malam
tak pernah puas dan tak henti-hentinya menyajikan berbagai layanan jasa mulai
dari panti pijat, bola sodok, hingga bisnis esek-esek dan penjaja seks.
@@@
Disisi lain, aku mulai berimajinasi menerawang jauh
menembus cakrawala yang gelap di bawah arus gelombang sungai mahakam menjelajah
disetiap sudut-sudut kota yang indah dibalik temaram gemerlap lampu-lampu
Ibukota sambil menikmati Jagung bakar dan kopi hangat, adalah rutinitas bagiku
setiap malam melepas penat dan letih di Tepian Sungai Mahakam setelah seharian
penuh menghabiskan waktu bergelut dengan komputer mengetik artikel-artikel yang
akan diterbitkan besok pada harian Ibukota, serta beberapa cerpen yang harus
diselesaikan dalam waktu dekat.
“ Ini den, jagung bakarnya udah matang dan kopi hangatnya……” Sapa wanita ayu sambil meyodorkan beberapa
buah jagung bakar dan kopi hangat yang aku pesan sebelumnya.
Pandangan mataku beralih ke sosok wanita berparas ayu
membuyarkan lamunanku.
“Lho…Bi minah
mana? Biasanya Bi minah yang mengantarkan pesananku?” Aku terkejut ketika kudapati bukan Bi Minah yang mengantarkan
pesananku.
“Bi… Minah lagi sakit, sekarang ada dirumah.” Dengan terbata Ia mulai menjawab, mungkin belum
lebih akrab denganku, seakrab aku dengan Bi Minah penjual jagung bakar di
Tepian Mahakam yang sudah dua tahun terakhir ini aku menjadi langganan jagung
bakar dan kopi hangat sambil menikmati pemandangan sungai Mahakam, lampu
temaram penduduk di pinggiran Sungai Mahakam dan gemerlap lampu kerlap-kerlip
Masjid Islamic Centre yang termegah se-Asia Tenggara itu serta tidak lupa pula
meyaksikan wanita-wanita malam yang penuh geliat manja memnuhi warung
remang-remang dan gang-gang sempit.
“Bi Minah lagi
sakit apa? Trus Ade ini siapa?”Selidikku pada
wanita tersebut sambil asik menikmati hidangan jagung bakar yang super lezat
meski tak selezat masakan Bi minah.
“Bi Minah lagi
demam dan batuk-batuk, saya lastri den…Saya suruh Bi Minah istirahat saja
dirumah, saya yang menggantikannya berjualan untuk sementara den.” Ia pun memulai cerita dengan logat jawa yang kental.
“Panggil mas atau
rietsky aja nggak usah aden..”sergahku dengan muka
memerah. Ya, aku biasa dipanggil oleh Bi Minah dengan sebutan aden, mungkin Ia
tau dari Bi Minah.
“Sudah Berapa lama
sakitnya?”
“Sudah seminggu
terakhir ini den, ehhh…sudah seminggu mas.hehehe?”balasnya
sambil tersenyum malu-malu padaku
Ternyata sudah dua minggu terakhir ini aku absen untuk
menikmati pemandangan di pinggiran Sungai Mahakam selama aku menjadi narasumber
disalah satu program radio khusus remaja, menjadi narasumber talkshow di
berbagai kegiatan remaja di berbagai sekolah dan media di Bontang, Tenggarong,
Balikpapan dan Samarinda yang banyak menghabiskan waktu, tenaga serta pikiran sehingga
aku tidak tahu kabar Bi Minah sekarang.
“Bukannya Bi…
Minah nggak punya anak?”selidikku, yang aku tahu
setelah Bi Minah bercerai dengan suaminya dan ditinggal mati oleh anak semata
wayangnya, Bi Minah hidup seorang diri dirumah sewaan yang berukuran 3 x 4 m di daerah kampung jawa
di belakang kantor Gubernur Kaltim.
“Ya, mas…saya bukan anak Bi Minah”
Aku masih ingat ketika Bi Minah bercerita mengenai
kehidupannya di mulai dari anak semata wayangnya yang berumur 10 tahun.
Peristiwa naas itu terjadi ketika aden anak Bi Minah sedang mandi sore bersama
teman-teman seumurannya di pinggiran Sungai Mahakam, Aden meninggal karena
terseret arus Sungai Mahakam yang mengalir deras pada saat itu. Tak ayal sore
yang cerah itu menjadi sore yang menyedihkan dan mengharukan di rumah duka bagi
Bi Minah. Berawal dari situlah aku dipanggil oleh Bi Minah Aden, katanya sih
biar Bi Minah ingat dengan anaknya Aden, Tapi dengan panggilan itu, aku merasa
kasihan kepada Bi Minah karena, ketika memanggil nama Aden mata Bi Minah berkaca-kaca
seolah ada dua arus kecil di kelopak matanya.
Seminggu setelah itu, suami Bi Minah menceraikan Bi
Minah dan berpaling kepada wanita selingkuhannya. Lengkap sudah penderiataan
hidup yang dilakoni Bi Minah di dunia ini, hidup di dunia miskin, ditinggal
mati oleh anaknya dan yang lebih menyakitkan hatinya adalah suami yang telah
mencampakkannya begitu saja dan berpaling kepada wanita lain. Menyedihkan.
Hal yang aku suka dari wanita yang berumur 56 tahun ini
adalah ketabahan dan keikhlasannya menerima cobaan hidup yang diberikan dan
digariskan oleh Allah SWT kepadanya. Di usia yang menjelang senja Bi Minah
semakin lebih mendekatkan dirinya kepada Allah dari pada kehidupan duniawi yang
hanya sementara dan penuh fatamorgana.
“Kita harus sabar
dan ikhlas dalam menjalankan hidup di dunia ini, anak serta suami serta harta
yang dititipkan oleh Allah sama kita hanya sementara saja den, harta juga tidak
dibawa mati, yang di bawa mati adalah amal saleh kita yang telah kita lakukan
semasa hidup.”petuah Bi Minah kepadaku
“Mas……mas……Rietsky”Panggil Lastri membuyarkan lamunanku.
“Oia…… gimana……sampai dimana tadi pembicaraan kita…” Aku sedikit gugup dengan suaranya yang
lantang membuyarkan ingatanku kepada Bi Minah.
“Saya bersyukur bisa bertemu dengan orang yang sebaik Bi Minah”Kenangnya
“Memangnya kenapa De Lastri”Selidikku
“Mas lihat wanita yang berdiri di pinggir jalan itu?” Sambil menunjuk ke arah wanita yang
dandanannya super menor yang dipenuhi dengan sapuan dan olesan bedak yang tidak
ber”etika dan ber “moral” memakai
lipstik merah muda memakai rok mini super seksi yang nagkring di pinggir jalan,
dan gang-gang sempit, menunggu lelaki hidung belang berkantong tebal penikmat “kupu-kupu malam”.
“Ya!!!”kataku
sambil memperhatikan gerak-gerik wanita tersebut yang dapat menggoda syahwat.
“Dulu tempat itu adalah daerah kekuasaanku mas”
Tanpa ragu dan malu Ia mulai
bercerita mengenai pengalaman hidupnya.
“Masya Allah...”Aku
membatin
Ternyata wanita yang berada
dihadapanku ini adalah bagian dari kehidupan malam yang menyajikan berjuta
pesona keindahan dan kenikmatan sesaat.
“Ya, saya dulu bagian dari mereka mas”lanjutnya lagi tanpa isyarat dan komentar apa-apa
dariku seakan mengerti batinku.
“Dua minggu yang lalu saya masih mencari lelaki hidung belang ditempat itu,
hingga suatu malam saya dikejar-kejar sama Satpol PP Samarinda yang pada malam
itu melakukan razia, entah mengapa saya tiba-tiba lari bersembunyi di bawah
kolong meja tempat Bi Minah berjualan, beruntung pada saat petugas satpol PP
menanyakan keberadaan saya kepada Bi Minah, Bi Minah mengatakan tidak melihat saya kepada petugas razia,
untuk melindungi dan menolong saya pada waktu itu. Saya merasa berutang budi
kepada Bi Minah mas!”kenangnya
mengingat peristiwa yang akhirnya membuat hidupnya kini berubah menjadi wanita
baik-baik.
“Ooo... jadi De Lastri menggantikan Bi Minah berjualan untuk membalas
kebaikan Bi Minah kepada De Lastri ya?
“Bukan itu saja mas”Memotong
pembicaraanku
“Bi Minah juga mengajari saya untuk lebih mengenal Tuhan dan mendekatkan
diri pada Allah.”lanjutnya.
“Hidup saya mungkin tidak seperti ini kalau malam itu tidak bertemu dengan
Bi Minah”Ternyata Allah
memberikan Hidayah kepada hambanya dengan berbagai macam cara dan memberikan
jalan keluar dari setiap masalah yang dihadapi oleh hambanya.
“Allah memang selalu memberikan cobaan baik itu ringan maupun berat kepada
kita agar kita lebih beriman dan bertaqwa kepada-Nya, seperti yang terkandung
dalam Al-qur’an yang berbunyi Allah tidak akan merubah suatu kaum kecuali kaum
tersebut merubahnya agar kita lebih bertaqwa”jelasku
“Seperti De Lastri kini yang diberi Allah Hidayah dalam hidup De Lastri,
mungkin Bi Minah sebagai perantara saja dari Allah, itulah rahasia Tuhan tidak
ada manusia yang mengetahui-Nya.”paparku lagi
“Iya... mas saya sudah sadar dan berjanji pada Bi Minah dengan bertobat
kepada Allah untuk meninggalkan dunia yang begitu nista dan kelam yang telah
lama saya lalui menjadi PSK.”ungkapnya.
“Allhamdulillah kalau De Lastri sudah insyaf dan bertobat kepada Allah dan
tidak akan mengulanginya lagi kelak”
@@@
Tak terasa jam dipergelangan
tanganku menunjukkan pukul 04.00 dini hari, tidak terasa obrolan kami kian
semakin jauh bercerita perihal kisah kelam yang dilakoni Lastri yang mendapat
hidayah dari Allah melalui tangan Bi Minah yang telah membantu, membimbing dan
mendorong Lastri agar tidak terjerembab dari jurang kenistaan.
Ya, itu dibuktikan oleh Lastri
dengan dandanannya yang telah menutup auratnya sekarang. Ya Ia lebih anggun
memakai gaun gamis berwarna hitam berbordir, meski kayak ondel-ondel keringatan
yang dipaksa menari sehari semalam dalam acara khitanan massal. Pakaian itu
lebih baik dari pada pakaian wanita-wanita yang nangkring ditepi jalan yang
super menor menunggu lelaki hidung belang.
Akhirnya kami memutuskan untuk
mengakhiri obrolan kami dan berbenah untuk kembali pulang ke rumah.
“Barang-barangnya dimasukkan ke dalam mobil aja De...”Tawarku kepada Lastri untuk mengantarnya
pulang.
“Nggak usah mas... jalan kaki saja...”sambil membersihkan dan merapikan meja
dagangannya.
“Nggak apa-apa sekalian mas mau menjenguk Bi Minah”bujukku lagi.
Tanpa menolak lagi Ia pun
mengangkut barang-barang dagangannya ke dalam mobil. Kami pun melaju dijalan
yang sepi menuju rumah Bi Minah.
Di rumah petak berukuran 3x4 m
ini kutemukan wanita paruh baya berumur senja ini tertidur lemas dan pulas
diatas kasur yang lusuh.
Aku tak tega membangunkannya,
Ia begitu lelah dan letih di umur senjanya itu, Ia lelah dengan kehidupan, Ia
lelah dengan nasib tapi, sabar menjalaninya, Ia lelah dengan berbagai macam tipuan
dunia yang menyilaukan mata, Ia lelah dengan semuanya.
“Ini...De... buat beli obat untuk Bi Minah” aku merogoh kantong dan menyodorkan amplop berisi
beberapa lembaran ratusan ribu hasil dari aku menjadi narasumber pada acara
talkshow tadi pagi.
“Terima kasih,
mas…”
“Ya, sudah mas
langsung pulang saja, kalau Bi Minah bangun, bilang saja tadi saya ke sini
menjenguknya ini no telp mas, kalau ada apa hubungi saya saja” pamitku sambil memberikan Lastri kartu namaku.
“Assalamu alaikum”
“Wa alaikum salam”
@@@
Seminggu kemudian, aku
mendengar berita dari Lastri mengenai kematian Bi Minah. Bi Minah meninggal
akibat Tuberclosis (TBC) yang
dideritanya sejak dua tahun terakhir.
Sesudah mengurus
pemakaman Bi Minah aku langsung terbang ke Bali untuk menghadiri Launching buku
yang aku tulis yang berjudul “The Miracle
of Waiting , dan Perempuan Penghuni
surga” yang aku persembahkan untuk Bi Minah yang telah memberiku inspirasi.
Sebelumnya aku berniat mengajak Bi Minah untuk menghadiri launching buku yang
aku tulis, tapi Tuhan berkehendak lain. Sebelum menghembuskan nafas terakhir Bi
Minah berpesan padaku melalui suratnya yang berisi :
Assalamu alaikum
Den Rietsky, Bibi menitipkan Lastri kepada Aden, tolong dijaga dan
dibimbing yang baik ya Den, Bibi sangat senang sama kalian berdua, Bibi senang
kalau kalian menjadi suami-istri, kalian berdua sangat baik sama Bibi, Bibi
juga mengucapkan terima kasih sudah mau menjaga Bibi waktu sakit, ini ada
cincin kawin Bibi, cincin ini Aden berikan kepada calon isteri Aden nanti ya?
Kalau Bibi pergi kalian tidak boleh sedih, kalian harus sabar, dan jangan lupa
sholat ya Den, Lastri juga diingatkan kalau lupa”
Bi Minah
@@@
“Papa…Papa…ade
mau maen mobing-mobingan cama abang, iya kan bang”
“Abang juga mau
maen mobil-mobilan pa..”Rengek manja dua anak manis dan lucu-lucu dengan kecadelannya
kepadaku.
“Iya...iya...
boleh, tapi hati-hati ya”
“hole…hole… kita
maen mobing-mobingan”teriak ade melompat-lompat.
Yah, sekarang aku sudah mempunyai dua anak laki-laki
yang lucu hasil pernikahanku dengan Lastri sepulang dari Bali, aku menikahi
Lastri, Aku menjalankan wasiat terakhir Bi Minah untuk menikahi Lastri, Kami
pun sekeluarga berbahagia, Tepian Sungai Mahakam menjadi tempat yang terindah
bagiku, di tempat ini aku menemukan cintaku, disinilah aku menemukan kehidupan
realita malam yang ternyata tidak begitu telanjang menampar ketermanguanku .
Aku pun menerawang jauh menikmati aliran sungai Mahakam
yang seakan berbisik dan mengingatkan aku pada sosok wanita penghuni surga yang
mengajarkan aku arti hidup yang sesungguhnya yang semakin lama semakin digerus
gelombang usia.
Dua kali kecil mulai mengalir di kelopak mataku dan
bermuara pada sudut bibir, malam kian larut.
Tepian Mahakam 03 September 2006
*Cerpen
dimuat di Buku Antologi Kalimantan Timur dalam Cerpen Indonesia”
**Penulis buku TTM “In The Name Of
Friendship”
ipoel.dkrbontang@gmail.com (0852 46 193 293)
No comments:
Post a Comment