Pada tahun
1960-an, Orangutan liar yang tersisa di hutan diperkirakan tidak lebih dari
4000 ekor. Oleh karena itu, IUCN (World conservation Union) menyatakan kera ini
sebagai jenis yang terancam punah, sehingga perlu mendapat perlindungan secara
internasional. Namun status ini tidak menolong Orangutan untuk luput dari
ancaman kepunahan, karena kelangsungan hidupnya bergantung pada habitat hutan
basah yang terus-menerus dihancurkan akibat ketamakan manusia dan pertambahan
jumlah penduduk yang tidak terkendali. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 7
tahun 1999, Orangutan dinyatakan sebagai binatang langka yang dilindungi.
Orangutan saat ini
hanya ada di Sumatera, Kalimantan, Sabah dan Serawak serta lebih dari 90 %
habitatnya berada di wilayah Republik Indonesia. Namun orangutan berasal dari
bahasa Melayu, yang dapat diartikan sebagai “orang hutan”. Di Sumatera dan
Kalimantan orang mengenalnya sebagai Mawas.
Nama ilmiah
orangutan sejak dulu diperdebatkan. Satwa ini pertama dideskripsikan pada awal
abad ke-17 oleh dua orang dokter Belanda, Jacob de Bondt dan Nicolas Tulp. Nama
ilmiah yang diberikan Carl von Linne untuk satwa ini adalah Simia satyrus (Linnaeus,
1758). Namun karena alasan-alasan tertentu, sejak tahun 1927 nama resmi ini
diganti oleh International Commission on Zoological Nomenclature menjadi Pongo
pygmaeus, dan nama ini masih berlaku sampai sekarang.
Orangutan adalah
salah satu anggota suku Pongidae. Menurut taksonomi sekarang, ada dua jenis
orangutan yang masih hidup, yaitu anak jenis dari Sumatera dan dari Kalimantan
(Van Bemmel, 1968 ; Jones, 1969).
Riset psikologis
menunjukkan bahwa orangutan mempunyai kesadaran mengenai “diri sendiri” dan
nilai kekeluargaan. Binatang ini juga mempunyai kemampuan yang luar biasa untuk
belajar, mengambil keputusan dan mampu membuat dan membongkar peralatan.
Orangutan juga memiliki daya ingat jangka panjang yang sangat kuat, juga bakat
yang mengagumkan untuk mamahami tanda-tanda lingkungan, termasuk pengertian
tentang kalimat yang diucapkan dalam bahasa yang diperkenalkan sejak awal masa
bayi. Disamping itu orangutan menunjukkan penghargaan yang jelas terhadap
nilai-nilai keindahan, dan kegemaran terhadap perhiasan yang dapat dijadikan
mainannya.
Kualitas mental
ini memungkinkan orangutan untuk mengembangkan organisasi sosial yang kompleks
berdasarkan hubungan jangka panjang, yang berpusat pada ikatan ibu-anak. Karena
itu, tidak ada dasar ilmiah untuk menyangkal bahwa orangutan mempunyai hak-hak
moral dan nilai-nilai etika seperti yang dimiliki manusia, Meskipun ada
kekurangan dalam komunikasi vokal yang kompleks, orangutan jelas mampu berpikir
dan menempatkan diri mereka dalam hubungannya dengan lingkungan sosial dan
fisiknya. Dengan demikian tidak ada alas an bagi budaya beradab mana pun untuk
menyangkal “kemanusiaan” orangutan.
Habitat
dan Ekologi Orangutan
Orangutan (Pongo pygmaeus) adalah primata arboreal
(hidup di pohon) terbesar di dunia, yang keberadaannya terbatas (endemik) di
pulau Sumatera dan Kalimantan. Di pulau Sumatera Orangutan sering disebut
Mawas(Pongo abelii)
Kera besar ini
banyak ditemukan di daerah yang mempunyai ketinggian kurang dari 1000 mdpl,
namun kera ini bias hidup hingga ketinggian 1500 mdpl. Makanan Orangutan
terdiri dari buah buahan hutan(60%), daun muda, kulit kayu, umbut-umbutan, dan
beberapa jenis serangga. Di Kalimantan Orangutan bisa bertahan hidup hingga 60
tahun dan berat badan jantan dewasa bisa mencapai 70 kg sedang yang betina
berkisar antara 30 – 50 kg.
Hanya pada saat
kawin saja Orangutan hidup berkelompok dengan individu lain yang berlangsung
antara 2 – 3 minggu. Perkembangbiaakannya juga lambat, karena Orangutan tetap
akan mengasuh anaknya hingga berumur 5 – 6 tahun, dan baru akan kawin bila
anaknya telah berpisah dari induknya. Orangutan hanya dapat hamil bila tersedia
cukup makanan, setiap kali melahirkan hanya melahirkan satu anak saja.
Menurut Supriatna
dan Wahyono, (2000), orangutan hidup pada hutan tropic dataran rendah,
rawa-rawa sampai hutan perbukitan pada ketinggan 1.500 mdpl umumnya mereka
hidup pada hutan primer dan sekunder. Namun saat ini karena kerusakan habitat
aslinya, mereka dapat ditemukan di pinggiran lading, perkebunan atau dekat
perkampungan. Habitat merupakan satu kesatuan yang dibentuk oleh berbagai
fungsi, diantaranya tempat bermain, tempat makan, tempat minum, tempat
berkemabang biak dan tempat berlindung dari predator (Galdikas, 1978).
Orangutan
merupakan jenis kera besar yang hampir selalu hidup di atas pohon. Hampir
seluruh waktunya dihabiskan diantara satu pohon dan pohon yang lainnya. Hanya
orangutan jantan yang ukurannya besar atau yang sudah tua lebih menyukai
cabang-cabang rendah, bahkan sering terlihat berjalan ditas tanah (Galdikas,
1978).
Distribusi
Sumatera bagian utara. Di Pulau
Kalimantan sampai ketinggian sekitar 1500 mdpl dan penyebaran saat ini yang
terpencar pada petak-petak kecil mungkin adalah akibat perburuan oleh manusia
serta hilangnya habitat hutan. Paling sedikit ada tiga wilayah luas di pulau Kalimantan
yang sekarang tidak pernah mempunyai catatan keberadaan orangutan ;
1. Diantara Sungai Rajang di
Sarawak dan Sungai Padas di Sabah bagian barat daya, kecuali beberapa catatan
di dataran tinggi di dakat perbatasan Kalimantan.
2. Dataran rendah di antara Sungai
Barito di pulau Kalimantan bagian tenggara dan Sungai Mahakam di Kalimantan
Timur.
3. Wilayah Tawau di Sabah.
Ada sisa-sisa
orangutan disetiap tingkatan endapan gua di Niah, di bagian tengah wilayah
pertama yang disebut diatas. Kesenjangan distribusi ini aneh, dan mungkin
disebabkan oleh penyakit, misalnya malaria, yang dulu membatasi penyebaran
populasi manusia di kawasan tropis. Catatan dari ketinggian 2400 mdpl
dilaporkan berasal dari Gunung Kinabalu tetapi sebagian besar catatan berasl
dari ketinggian dibawah 1000 mdpl.
Aktivitas
/ Perilaku Harian Orangutan
Aktivitas harian
orangutan merupakan seluruh aktivitas yang dilakukan orangutan sejak
meninggalkan sarang tidurnya pada pagi hari, hingga tidur kembali di dalam sarang
tidurnya pada malam hari (Galdikas, 1978) dan Rodman(1977)Aktivitas ini
meliputi :
1. Diurnal dan biasanya arboreal.
Makanan utamanya buah-buahan, dedaunan muda dan serangga. Biasanya soliter,
tetapi anakan tetap tinggal bersama induknya sampai berumur 5 atau 6 tahun.
Ditemukan di hutan pegunungan, hutan sekunder dan hutan rawa, termasuk hutan
nipah, tetapi mencapai kerapatan tertinggi (mencapai 2 ekor/km) di hutan
Dipterocarpaceae, kerapatan di hutan perbukitan mungkin hanya 1 ekor per 2 km. Kadang memasuki kebun dan perkebunan.
2. Makan (eating). Di mulai dari
pencarian, penanganan, memakan dan menelan termasuk di dalamnya berjalan pada
pohon sumber makanan untuk mencari makanan pada dahan lain.
3. Bergerak berpindah
(traveling). Yaitu pergerakan satwa dari satu pohon ke pohon lain.
Berjalan-jalan pada satu pohon tidak dimasukkan dalam perilaku gerak pindah.
4. Istirahat (resting). Yaitu
seluruh perilaku selain berjalan dan makan termasuk di dalamnya “resting” dan
“display”.
Orangutan biasa
bangun sekitar pukul 06.00 dan tidur kembali 18.30 atau 08.45. Perilaku
hariannya dimulai dengan berak dan kencing di luar sarang beberapa saat setelah
bangun. Kebiasaan ini dapat dijadaikan pegangan apakah orangutan masih ada di
dalam sarang atau tidak. Goyangan dahan yang diakibatkan oleh gerakan orangutan
berbeda dan lain sekali halnya dengan goyangan dahan yang diakibatkan oleh
gerakan Owa(Hylobates muelleri) atau
kera abu-abu (Macaca fascicularis)
karena mereka lebih lincah dalam bergerak.
Orangutan paling
mudah ditemui pada waktu pagi atau sore hari, pada saat mereka sedang aktif
makan atau membuat sarang. Pada saat makan selalu ada sisa-sisa makanan yang
jatuh ke tanah. Suaranya lebih jelas lagi jika ditemui pada saat makan dimana
terdengar sisa buah atau daun berguguran, dan pada saat membuat sarang yang
selalu dilakukannya pada senja hari dimana banyak ranting yang dipatahkan
berguguran dengan bunyi yang khas.
Sumber makanan
pokok yang paling disukai orangutan adalah punak Tetramerista glabra (Meliaceae), Gironniera nervosa (kerabat
Moraceae dan Urticaceae) (Gladikas, 1978), buah anai-anai (rayap) dan
lain-lain.
Kebakaran hutan
tidak menyebabkan terjadinya perubahan yang besar pada aktivitas-aktivitas
makan, bergerak pindah dan istirahat yang dilakukan orangutan. Perubahan yang
berarti terjadi pada komposisi bahan makanan, yaitu kulit menjadi bahan makanan
penting kedua setelah buah.
Status
Konservasi
Karena orangutan
mengkonsumsi berbagai makanan yang bersumber dari pepohonan, mereka sangat peka
terhadap perubahan kondisi hutan tropik yang menjadi habitatnya. Jelaslah
pembukaan hutan sangat berpengaruh terhadp perkembangan populasinya. Orangutan
sudah dilindungi sejak zaman Kolonial Belanda dengan Peraturan Perlindungan
Binatang Liar 1931, akan tetapi namanya masih Simia satyrus. Di dalam peraturan terbaru yaitu Peraturan
Pemerintah No.7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa sudah
tertulis menjadi Pongo pygmaeus.
Ancaman
Sejak tahun 1931
telah dikeluarkan Peraturan Perlindungan Binatang Liar, termasuk Orangutan,
namun kenyataannya keberadaan Orangutan dari tahun ke tahun terus mengalami
penurunan dan saat ini menjadi jenis yang terancam punah (Endangered species).
Ulah manusia adalah factor utama
penyebab kepunahan Orangutan, disamping perkembangbiakannya yang lambat yang
mengakibatkan laju kepunahan makin cepat. Kegiatan manusia yang menjadi
penyebab kepunahan orangutan antara lain:
·
Penebangan hutan yang menjadi habitat Orangutan.
·
Perburuan Orangutan untuk di perdagangkan maupun untuk di makan dagingnya.
·
Kebakaran hutan yang terjadi hamper setiap tahun, di mana kebakaran hutan
tersebut juga sebagian besar diakibatkan oleh factor manusia.
Penyelamatan hutan
tempat hidup Orangutan bukan semata untuk kepentingan konservasi Orangutan.
Terus menyempitnya hutan yang mengarah pada habisnya hutan di Sumatera dan
Kalimantan menjadi keprihatinan bagi orang yang menyadari bencana yang bakal
terjadi. Sama seperti Orangutan, manusia juga memerlukan keberadaan hutan baik
secara langsung ataupun tidak langsung. Semestinya upaya penyelamatan habitat
Orangutan tidak dipandang hanya sebagai upaya konservasi satwa semata, namun
bahwa penyelamatan hutan juga diperlukan bagi masyarakat yang hidupnya masih
bergantung dengan sumber daya hutan dan daya dukung jasa lingkungan bagi kehidupan
umat manusia, tinggal bagaimana mengelolanya dan komitmen para pihaknya.
Namun demikian
upaya pelestarian jenis ini tidak akan berhasil tanpa adanya dukungan dari
masyarakat. Masyarakat harus menyadari arti penting dari konservasi sumber daya
alam hayati, khususnya konservasi jenis, dan berperan serta di dalamnya. Upaya
peningkatan kesadaran masyarakat ini harus terus dilakukan oleh pemerintah
termasuk juga upaya penyebarluasan informasi konservasi jenis.
Dengan demikian
kita tidak lagi bisa menemukan Orangutan dijadikan sebagai koleksi para
kolektor-kolektor satwa dan kita juga tidak lagi bisa menemukan Orangutan
berdiri ditengah jalan mengahadang kendaraan yang lewat dan menengadahkan
tangan untuk meminta makan akibat habitatnya yang telah diganggu oleh ulah
manusia itu sendiri.
No comments:
Post a Comment