Monday, June 18, 2012

Kursi Vs Nurani


Tahun ini menjadi tonggak sejarah baru peradaban dan perubahan bagi Propinsi Kalimantan Timur. Pada tahun ini, tepatnya bulan Mei nanti beribu rakyat dari berbagai daerah di Kalimantan Timur mengadu nasib mereka sendiri untuk lima tahun ke depan melalui Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Kalimantan Timur. Masyarakat Kalimantan Timur kembali akan disuguhkan dengan janji-janji yang akan disampaikan calon-calon pemimpin dan wakilnya, yang bertarung untuk memperebutkan kursi Kaltim 1 dan Kaltim 2.
Entah kapan janji-janji itu akan mulai santer terdengar begitu lantang dan nyaring di telinga masyarakat. Janji untuk menaikkan dan mensejahterahkan PNS (Pegawai Negeri Sipil), janji untuk memberikan rasa aman dan kesejahteraan. Janji untuk memberantas kasus Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), penyakit yang mengakar dan menular di Indonesia selain kasus Flu Burung, AIDS, Narkoba, yang dapat mematikan roda perekonomian negara yang paling kronis. Tak heran jika nantinya janji-janji tersebut menjadi penghibur diantara lilitan kemiskinan dan teriakan rakyat yang kelaparan, diantara membuncitnya perut anak-anak yang kekurangan gizi, apa bedanya dengan perut-perut buncit sang koruptor yang memakan uang rakyat? Diantara hilangnya rasa aman rakyat, diantara hilangnya kebebasan mahasiswa yang di kebiri dan keamanan menjalankan aktivitas ibadah, diantara teror-teror, diantara kecaman-kecaman yang mengatasnamakan masyarakat, diantara keadilan yang sudah sekian lama tercabut, diantara harapan kesejahteraan yang entah sampai kapan akan terwujud.
Karena itu, tidak ayal sejumlah dukungan sebagian golongan untuk para calon pemimpin dan wakilnya yang akan mengumbar janji-janji itu pun nantinya akan mulai merebak. Sebagai contoh kecil saja, polling pemilihan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur di berbagai media massa yang banyak memperoleh animo dari berbagai lapisan masyarakat. Ekspresinya pun berbeda-beda. Hal ini telah dilihat dan dibuktikan dari pemilihan-pemilihan kepala daerah sebelumnya di berbagai daerah. Dari fatwa yang menyudutkan calon pemimpin yang satu karena mendukung calon pemimpin yang lain, hingga sumpah-sumpah pun dilakukan di bawah kitab-kitab suci sebagai bukti setia tetap mendukung salah satu calon pemimpin.
Ini menunjukkan, kemerdekaan negeri kita ini yang sudah sekian tahun lamanya belum mampu membangun kedewasaan seluruh lapisan anak negeri ini. Terbukti, semua hal masih disikapi dengan sikap penuh emosional dan menempatkan kejernihan berfikir di tempat yang sulit ditemukan.
Namun, demikianlah budaya negeri kita. Setiap kepentingan, termasuk keinginan untuk menjadi pemimpin, harus diupayakan terwujud. Tidak peduli caranya seperti dan seemosional apa. Sekalipun harus melanggar syariat dan “menjual harga diri”. Sahabat atau kawan yang sekian bulan belakang didukung untuk menduduki satu jabatan penting tertentu pun, bila perlu dikorbankan untuk kepentingan itu. Bahkan, bila perlu nyawa rakyat dipertaruhkan juga.
Karena semua itu, jadilah kursi Pemimpin menjadi kursi yang paling mahal di negeri ini. Bagaimana tidak, untuk mendudukinya saja, seorang calon pemimpin perlu “menjual harga diri”, mengorbankan sahabat, dan bahkan mengorbankan nyawa rakyat yang seharusnya mendapatkan pelayanan dari seorang pemimpin.
Padahal, jika seorang pemimpin mau berpihak pada nurani, tentu tidak harus seperti itu kejadiannya. Bagaimanapun kursi hanyalah kursi. Benda biasa yang paling banter terbuat dari emas, bisa dinilai dengan uang, bisa rusak, dan tidak lebih tinggi dari harga nyawa manusia.
Walaupun setiap malam melakukan tirakat melafazkan ayat kursi untuk menduduki kursi kepemimpinan, ketika mendudukinya dan mendapatkan keinginannya lupa akan ayat-Nya, ironis sekali, dan yang tinggal hanyalah harapan-harapan yang tidak mungkin terwujud dan tercapai.
Karena itu, sejatinya, kursi diposisikan tetap sebagai kursi. Tidak lain. Sesungguhnya untuk duduk diatas kursi kepemimpinan (Kaltim 1 dan Kaltim 2), tidak perlu ada janji-janji palsu, tidak perlu ada fatwa yang menyudutkan, tidak perlu sumpah-sumpah di bawah kitab-kitab suci, tidak perlu ada sahabat yang harus dikorbankan, tidak perlu ada mahasiswa yang dikebiri ketika menyerukan kedamaian dan keadilan, tidak perlu ada teror sana-sini, tidak perlu ada pembakaran dimana-mana, apalagi harus menghilangkan sejumlah nyawa manusia.
Masih adakah pemimpin yang seperti itu? Masih adakah pemimpin yang mementingkan hati nurani dari pada kursi? Jawabnya ada pada diri pemimpin itu masing-masing apakah dia mau mempertaruhkan hati nuraninya untuk memperoleh kursi kepemimpinan atau mempertaruhkan harga dirinya demi kursi kepemimpinan tersebut.
Kota Tepian, 22 Maret 2008
M. Saipul
Tulisan ini pernah dimuat di Tribun Kaltim tahun 2008

2 comments:

  1. ya semoga kita yang selalu menghujat pemimpin.. tidak sama dengan mereka.. kalaupun kita sama... berarti kita tidak sardar diri..

    ReplyDelete
  2. itu bukan menghujat saudara, jangan jadi pemimpin kalau tidak mw di kritik. memang kenyataannya begitu kan..giliran mw pemilihan saja turun ke masyarakat, janji ini-janji itu giliran sudah dapat kursi lupa sama janjinya..

    ReplyDelete